ZONASI POTENSI PENANGKAPAN IKAN DAN INFORMASI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KHLOROFIL MERUPAKAN INFORMASI BAGI NELAYAN UNTUK MENANGKAP IKAN


Ir. Darsiman B, MS

Masalah perikanan masih jarang dibicarakan, walaupun kita sangat sadar perikanan merupakan bagian dari pertanian. Akibatnya keterpurukan kehidupan nelayan dan keluarganya hampir-hampir tidak pernah dibicarakan.  Nelayan memenuhi kebutuhan pangannya dari hasil tangkapan ikan di laut. Informasi terjadinya awal musim hujan dan awal musim kemarau, arah dan kecepatan angin serta gelombang yang terjadi di perairan sangat dibutuhkan oleh nelayan dalam penangkapan ikan karena merupakan salah satu faktor penentu keberhasilannya. Informasi zona potensi penangkapan ikan (ZPPI) dan pengembangan budidaya perikanan laut dapat diketahui melalui pengindraan jarak jauh (INDRAJA).  Metode penentuan ZPPI merupakan kajian yang terintegrasi dengan berbagai bidang seperti Inderaja (SPL dan Khlorofil), oceanografi (dinamika perairan), statistika (metode pengujian), akustik (biomass dan zonasi ikan) dan biologi perikanan (pola dan tingkah laku ikan). Pada tahun Elnino, lapisan termoklin menjadi lebih dangkal sehingga hasil tangkapan ikan tuna meningkat, walaupun konsentrasi khlorofil sangat rendah. 



Bersamaan dengan kejadian Elnino di Pasifik 1997/1998 terjadi juga fenomena Dipole Mode di Samudera Hindia. Pada saat fenomena dipole mode  konsentrasi khlorofil sangat tinggi. Dipole mode adalah suatu fenomena yang hampir serupa dengan Enso terjadi di Samudera Hindia, yaitu fenomena keadaan SPL antar Samudera Hindia lepas pantai Sumatera dan Sumudera Hindia bagian barat.  Pola yang terjadi adanya variabilitas internal dengan anomali SPL negatif di lepas pantai Sumatera dan anomali positif di Samudera Hindia bagian barat yang disertai dengan  anomali angin dan presipitasi.

Kegiatan penangkapan ikan  oleh nelayan sangat memerlukan informasi cuaca dan awal terjadinya musim hujan atau musim kemarau, karena hal ini sangat berkaitan dengan arah dan kecepatan angin yang mendominasi di atas perairan yang merupakan salah satu faktor penentu tingkat keberhasilan nelayan dalam memperoleh  hasil tangkapannya. Oleh karena itu informasi mengenai cuaca kelautan sangat penting bagi kegiatan sektor kelautan dan perikanan.  Dengan demikian dukungan dan peran BMKG sangat diperlukan terutama berkaitan dengan data dan informasi arah dan kecepatan angin serta gelombang yang terjadi di perairan wilayah Indonesia dan sekitarnya (BMG, 2003).

Norma, dkk (2003) dari LAPAN dan Prayogo, dkk (2003) menyatakan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai salah satu lembaga penelitian pemerintah sedang melakukan kajian mengenai penerapan informasi zona potensi penangkapan ikan (ZPPI) dan pengembangan budidaya perikanan laut berdasarkan teknologi penginderaan jauh. Teknologi ini diharapkan  dapat memberikan dukungan informasi daerah potensi penangkapan ikan secara tepat waktu dan berkesinambungan serta arahan  dalam pengembangan budidaya perikanan laut untuk pengembangan ekonomi masyarakat dan daerah.  Kajian tersebut bertujuan mengkaji  metode pemanfaatan  data inderaja untuk zona potensi penangkapan ikan dan budidaya perikanan laut yang akurat.  

Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut adalah tersedianya metode dan teknik yang tepat dalam pengolahan data Inderaja dan GIS untuk ZPPI dan pengembangan budidaya perikanan laut yang lebih akurat.  Hasil inventarisasi masalah menunjukkan bahwa metode penentuan ZPPI merupakan kajian yang terintegrasi dengan berbagai bidang seperti inderaja (SPL dan Klorofil), oceanografi (dinamika perairan), statistika (metode pengujian), akustik (biomass dan zonasi ikan) dan biologi perikanan (pola dan tingkah laku ikan). 

Menurut  Lumban Gaol, dkk (2003)  dari Jurusan Ilmu dan Teknologi Kalautan IPB serta dari Lembaga Oceanografi LIPI  pada saat terjadi Elnino lapisan termoklin  di wilayah ini menjadi lebih dangkal dan berakibat kepada perubahan   lapisan renang Tuna Mata Besar, sehingga pada saat Elnino hasil tangkapan ikan Tuna  cenderung meningkat.  Sementara itu pada awal tahun 1998 (puncak Elnino) konsentrasi klorofil-a dari citra satelit  sangat rendah dan hasil uji  statistik  korelasi menunjukkan bahwa semakin kuat Elnino, semakin rendah konsentrasi klorofil.   Bersamaan dengan Elnino 1997/1998, terjadi juga fenomena Dipole Mode di samudera Hindia.  Pada saat dipole mode, konsentrasi klorofil sangat tinggi dan analisis statistik korelasi antara indeks dipole mode dan konsentrasi klorofil adalah   positif serta sangat signifikan.  Analisis korelasi silang antara konsentrasi klorofil dengan hasil tangkapan ikan Lemuru adalah positif  dan terlihat hasil tangkapan Lemuru  melimpah.

Hasil analisis Sri Pujiyati  (2003) menyatakan daerah penangkapan ikan merupakan faktor utama yang perlu  diketahui  oleh nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimal dan mengurangi biaya operasional seminimal mungkin.  Informasi mengenai  daerah penangkapan  saat ini mulai banyak dilakukan oleh instansi terkait maupun oleh kalangan akademis dengan menggunakan beberapa teknik antara lain  Inderaja maupun  dengan metode akustik  Metode akustik  adalah  tehnik  untuk mendapatkan  informasi penyebaran ikan berikut besarnya densitas ikan.  Penelitian telah dilakukan di perairan selat sunda, dengan tujuan  untuk  melihat distribusi ikan pada empat musim yang berbeda, dengan menggunakan peralatan akustik split beam transduser.  Hasil survey menunjukkan  pada musim timur densitas tertinggi di perairan bagian utara mendekati Pulau Sebesi, kemudian pada musim peralihan I konsentrasi ikan bergerak kembali ke arah selatan mendekati teluk Semangka, pada musim Barat konsentrasi ikan bergerak kembali ke arah utara kembali mendekati Pulau Sebesi dan pada peralihan II bergeser ke timur mendekati Pulau Rakata.

Nelayan mata pencahariannya untuk memenuhi kebutuhan pangan  keluarga  dari menangkap ikan, dengan demikian sebaiknya dalam membicarakan peranan Pers dalam pembangunan pertanian berwawasan kedaulatan pangan berkelanjutan, kita juga harus memikirkan nelayan, jangan hanya seakan-akan hanya beras, kedelai dan jagung saja yang menjadi perhatian. Ironisnya dengan keadaan  luas laut Indonesia yang lebih luas dari daratannya ternyata masuk ikan import ke negeri ini.
  
Pola yang terjadi adalah adanya variabilitas internal dengan anomali SPL negatif dilepas pantai sumatera dan anomali positif di samudera hindia bagian barat yang disertai pula dengan adanya anomali  angin dan presipitasi.  Proses interaksi atmosfir-laut ini bersifat unik dan melekat di samudera hindia dan terlihat tak tergantung pada Enso. Fenomena ini diindikasikan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut; (1) SPL yang dibawah normal dipantai barat sumatera sebelah selatan (samudera hindia sebelah tenggara) dan diatas normal dibagian barat samudera hindia (pantai timur Afrika). (2) Anomali angin timuran (easterly wind) sepanjang ekuator samudera hindia bagian timur. (3). Memberikan dampak tingginya curah hujan di benua Afrika (yang mengakibatkan bencana banjir)  yang terjadi akibat SPL diatas normal dibagian timur samudera hindia.
  1. Luas laut Indonesia lebih besar dari daratannya (± 62% dari seluruh wilayah Indonesia) dengan luas sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan teritorial, dan 2,8 juta km2 perairan nusantara).
  1. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (± 17.508 pulau) dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang kedua di dunia setelah Canada).
  1. Berdasarkan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea), Indonesia berhak memanfaatkan ZEE seluas 2,7 juta km2 (batas  terluarnya 200 mil dari garis pantai pada surut terendah), antara lain untuk kegiatan eksplorasi, pengelolaan sumber daya hayati dan non hayati, riset, dan pendirian instalasi bawah laut.
  1. Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar yang dapat pulih (a.l perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang) maupun yang tidak dapat pulih (a.l; minyak bumi, gas, mineral, timah, biji besi, bauksit, pasir kwarsa, atau bahan tambang lainnya).
  1. Kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut Indonesia adalah terbesar di dunia, karena memiliki ekosistem pesisir  seperti hutan mangrove , terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea grass beds) yang begitu luas dan beragam
  • Anomali temperatur permukaan laut (SST Anomali).  Elnino terjadi jika ada kenaikan temperatur permukaan laut di daerah tropik timur Lautan Pasifik paling sedikit 2oC dalam 12 bulan dan menghasilkan suatu anomali temperatur paling sedikit +1 oC untuk rentang waktu minimal 3 bulan.
  • Indek Osilasi selatan (IOS) yaitu perbedaan tekanan udara di Lautan Pasifik Selatan (dipantau di Tahiti) dan lautan Hindia (di pantau di Darwin). IOS yang ekstrim negatif berhubungan erat dengan kejadian Elnino walaupun tidak semua IOS yang ekstrim negatif menghasilkan kekuatan Elnino yang sama (Sarah Dent, 1997).
  • Level/elevasi permukaan laut (Sea Surface Topography).  Hasil penelitian menyimpulkan bahwa elevasi muka laut rata-rata pada tahun Elnino di perairan Indonesia bagian barat rendah dari harga normalnya dan umumnya terjadi pada bulan Nopember-Desember. Selanjutnya muka laut rata-rata pada tahun sebelum ENSO  lebih tinggi dari pada normalnya, dan cenderung menjadi lebih rendah dari normalnya pada pertengahan pertama tahun ENSO.
  • Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) atau Indonesian Through Flow.  Secara umum memang terjadi perbedaan elevasi muka air laut rata-rata antara Lautan Pasifik sebelah barat dengan Lutan Hindia, yang menyebabkan terjadinya arus yang berasal dari Lautan Pasifik menuju Lautan Hindia melewati perairan Indonesia (ARLINDO). Variabilitas ARLINDO diperkirakan akan diikuti dengan perubahan suhu permukaan laut perairan Indonesia terutama di bagian timur. Dari kejadian ini yang perlu dicatat adalah pada kondisi normal elevasi muka air rata-rata di lautan Pasifik lebih tinggi dibandingkan dengan elevasi muka air laut di Lautan Hindia, maka ARLINDO  cukup kuat.  Sebaliknya pada saat terjadi Elnino, dimana elevasi muka air rata-rata di bagian barat Pasifik turun, maka ARLINDO juga akan menjadi lemah.  Dengan demikian dapat diperoleh identifikasi bahwa jika ARLINDO mulai melemah maka akan terjadi Elnino.  Kondisi ini pada penelitian sebelumnya, yang mengidentifikasi bahwa ARLINDO menunjukkan kekuatan maksimumnya pada periode La Nina 1988-1989, dan minimumnya pada periode Elnino 1986-1987 serta 1991-1994.  
  • Pengetahuan tentang kelautan telah jauh berkembang,  semua pihak terutama nelayan perlu mendapatkan informasi yang tepat sebelum turun kelaut untuk menangkap ikan.
  • Pengetahuan Inderaja, GIS, Cuaca Maritim dewasa ini telah mudah dilakukan, perlu diintegrasikan untuk memberikan informasi ZPPI kepada nelayan.
  • Nelayan negara maju dewasa ini telah menangkap ikan, sementara nelayan negara berkembang masih mencari ikan dengan peralatan sederhana.  Maka dari itu dalam membicarakan kedaulatan pangan, sangatlah bijaksana  juga dibicarakan kebutuhan pangan nelayan yang mata pencahariannya kelaut.





Soesilo (2003) menyatakan gejala Elnino  berdampak pada penurunan produksi perikanan secara global, namun kondisi sebaliknya justru dijumpai di perairan Indonesia yang memperlihatkan meningkatnya produksi perikanan saat Elnino. Perdinan (2003) dari Laboratorium FMIPA-IPB melaporkan  hasil analisis  kajian  pada tahun Elnino  menunjukkan pada saat fenomena Elnino, hasil analisis  citra suhu permukaan laut (SPL)  menunjukkan dampak yang terjadi pada tahun 1997 di perairan selatan Jawa Timur-Bali pada musim timuran, ditandai dengan  perubahan distribusi SPL yang tidak teratur dari bulan ke bulan serta adanya perluasan massa air dingin (upwelling)  yang arahnya ke selatan.  Pengaruh Elnino mulai terlihat pada bulan Juni, sementara periode perluasan massa air dingin dimulai pada bulan Juli dan semakin meluas wilayah cakupannya pada bulan Agustus.  Luasnya daerah upwelling yang terjadi saat Elnino mengindikasikan besarnya potensi perikanan di Indonesia, terutama ikan tuna di wilayah perairan selatan Jawa Timur-Bali.

BEBARAPA KAJIAN  UNTUK MENGHASILKAN INFORMASI KELAUTAN

Dipole Mode adalah suatu fenomena yang hampir serupa dengan Enso, terjadi di samudera Hindia.  Fenomena ini  pertama kali dipaparkan oleh Prof T. Yamagata dari University of Tokyo.  Fenomena ini diindikasikan oleh suatu indeks yang disebut Indeks Dipole Mode yaitu beda SPL antar Samudera Hindia lepas pantai Sumatera (90o-10oBT/10oLS-Ekuator dan Samudera Hindia bagian barat (50o-70oBT/10oLS-10oLU). 



Ada beberapa alasan utama perlunya pemanfaatan sumberdaya laut di Indonesia  yang menurut Dahuri (2003) antara lain:

Dahuri (2003) menyatakan variabilitas iklim seperti  El Nino merupakan suatu peristiwa alam yang berlangsung di pantai barat Peru Amerika Selatan.  Istilah tersebut muncul di kalangan nelayan di pantai Peru, karena indikasi fisis alami tersebut berkaitan dengan kelimpahan ikan yang akan muncul ke permukaan akibat  adanya aliran panas di kawasan tersebut dan adanya upwelling.  Elnino merupakan interaksi udara-laut  yang tidak linier, dimana respon antara laut dan udara diatasnya  tidak dalam waktu yang sama.  Respon di udara, atas perubahan temperatur muka laut di bawahnya berkisar ± 1 bulan, dan waktu yang diperlukan untuk terjadinya perubahan temperatur di lapisan permukaan laut adalah sekitar 4 bulan. Selama ini fenomena Elnino dipelajari dari Indikator antara lain:

INFORMASI BMKG TERHADAP POTENSI KELAUTAN

Informasi BMKG tentang  potensi kelautan  antara lain evaluasi cuaca perairan yang dilakukan stasiun Meteorologi Maritim mencakup suhu muka laut,  arah dan tinggi gelombang laut yang diamati pukul 03.00 GMT dan pukul 06.00 GMT, serta kecepatan angin.  Kondisi cuaca  buruk yang merupakan hasil analisis dan interpretasi awan cumulonimbus dari citra satelit sebagi contoh mencakup Perairan Lhokseumawe, Selat Malaka, perairan Aceh, Perairan Nias-Mentawai serta samudera Hindia. Dari data Inderaja  yang diamati BMKG dapat diketahui daerah-daerah perairan yang berwarna hijau yang merupakan pertanda banyak mengandung Chlorofil, disana merupakan potensi bergerombolnya ikan sangat besar. Informasi ini sangat diperlukan nelayan agar upaya penangkapan ikan dapat maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, R. 2003.  Kebijakan sektor kelautan dan perikanan dalam mengantisipasi perubahan iklim global. Disajikan dalam Simposium Meteorologi Pertanian VI, Bogor 09-10 September 2003. p. 08

Lumban Gaol, J., B. P. Pasaribu., Dj. Manurung., V. P. Siregar ., I. Jaya dan S. Wouthuyzen. 2003.  Kondisi oseanografi samudera hinbhia bagian timur dari citra satelit pada saat Elnino dan Dipole Mode serta hubungannya dengan hasil tangkapan Lemuru dan Tuna. Simposium Meteorologi Pertanian VI.  09-10 September 2003, Bogor.

Norma, M. P. Manoppo., M. Hastuti., G. Winarso dan A. Susanto. 2003. Verifikasi dan validasi metode pemanfaatan data Inderaja untuk budidaya perikanan laut dan penentuan zona potensi ikan. Simposium Meteorologi Pertanian VI.  09-10 September 2003,  Bogor.

Perdinan. 2003.  Fenomena Enso dikaitkan  dengan produksi padi nasional dan potensi perikanan di perairan  selatan Jawa Timur Bali. Simposium Meteorologi Pertanian VI.  09-10 September 2003,  Bogor.

Prayogo, T., F. Astuti., J. Kurniawan., R. Sari Dewi., B. Prayitno., P. Purnama Sari., S. Sulma., dan Y. Marini.  2003.  Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk produksi  informasi bagi nelayan perikanan tangkap. Simposium Meteorologi Pertanian VI.  09-10 September 2003,  Bogor.


Soesilo, I.  (2003).  Fenomena iklim global dan kaitannya dengan produktivitas perikanan dan kalautan. Simposium Meteorologi Pertanian VI.  09-10 September 2003,  Bogor.
Blog, Updated at: 10:12:00

0 komentar:

Popular Posts