Darsiman B
Sektor pertanian dewasa ini masih tetap menempati posisi penting sebagai penyumbang Produk Domestik Bruto atas pendapatan nasional. Fenomena El Nino tahun 1997 berdampak terjadinya kemarau berkepanjangan, sehingga banyak areal tanaman pangan yang mengalami kekeringan yang mencapai 504.021 ha dengan puso 88.467 ha. Keadaan ini diperparah dengan adanya krisis moneter yang mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya harga sarana produksi pertanian.
Permasalahan pertanian Indonesia dewasa ini bukan semata-mata dampak kemarau berkepanjangan, tetapi swasembada memang sulit dipertahankan karena pertambahan penduduk yang meningkat dan kemunduran prilaku agronomi ditingkat petani, sehingga kita kembali mengimpor beras sejak 8 tahun setelah berswasembada.
Indonesia secara umum beriklim tropis basah tetapi ada sebagian daerah beriklim semi arid tropik yang umumnya dengan tipe E2. Pola tanam masih didasari oleh sifat hujan yaitu jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering dalam setahun, dipihak lain pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh keadaan lengas tanah yang terkait erat dengan sifat tanah dan laju evapotranspirasi. Dewasa ini pemanfaatan informasi cuaca dan iklim untuk pertanian masih rendah walaupun teknologi untuk itu tersedia, bahkan ada indikasi yang menyatakan kemampuan prakiraan cuaca dan iklim kita masih lemah.
Upaya tindak lanjut penanganan krisis pangan dari para pakar masih bersifat saran yang menghendaki tindak lanjut oleh pengambil kebijakan.
Sektor pertanian dewasa ini masih tetap menempati posisi penting sebagai penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) atas pendapatan nasional. Dengan demikian upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan ketahanan ekonomi. Hal ini terbukti bahwa pada saat Indonesia menghadapi krisis ekonomi, sektor pertanian tetap tumbuh positif, sedangkan sektor lainnya mengalami pertumbuhan negatif.
Pada tahun 1997 muncul fenomena Elnino yang berdampak terjadinya kemarau berkepanjangan, sehingga banyak areal tanaman pangan yang mengalami kekeringan, sebagian lahan tidak dapat ditanami, luas kekeringan mencapai 504.021 ha dengan puso 88.467 ha. Keadaan ini diperparah dengan adanya krisis moneter yang mengakibatkan menurunnya daya beli petani dan meningkatnya harga sarana produksi pertanian sehingga pada akhirnya Indonesia kembali sebagai negara pengimport beras dalam jumlah besar (Jasis dan Karama, 1999). Dalam suasana krisis ekonomi, banyak perusahaan yang tidak mampu lagi melanjutkan usahanya sehingga berdampak terhadap pemutusan hubungan kerja yang tentu saja menambah angka pengangguran. Disisi lain permintaan terhadap produksi pertanian terus meningkat sementara upaya peningkatan produksi antara lain dibatasi oleh sempitnya kepemilikan lahan. Koesmaryono, dkk (1999) melaporkan penyimpangan iklim akibat terjadinya El Nino dan La Nina telah menimbulkan dampak yang luas pada kehidupan manusia dan pada umumnya bersifat negatif. Kejadian kekeringan akibat El Nino telah menyebabkan meningkatnya luas pertanaman yang terkena kekeringan 8-10 kali lipat dari luas terkena kekeringan dalam kondisi normal, sebaliknya La Nina telah menyebabkan meningkatnya luas pertanaman terkena banjir 4-5 kali lipat dari normal. Purba, dkk, (1999) menyatakan akibat El Nino 1997 telah menimbulkan krisis ekonomi yang berdampak impor beras mencapai 4,8 juta ton pada tahun 1998.
Krisis pangan yang terjadi belakangan ini lebih banyak disebabkan oleh penurunan produksi padi pada tahun 1997 akibat penyimpangan iklim Elnino (Hermanto, 1999). Pada kesempatan lain Hermanto (1999) menyatakan dewasa ini permintaan akan padi, kedelai dan jagung terus meningkat, sementara produksinya mengalami penurunan. Dalam beberapa tahun terakhir upaya peningkatan produksi memang dihadapkan pada berbagai kendala, baik teknis maupun nonteknis. Petani pada umumnya kekurangan modal usaha tani, kini makin tak berdaya karena meningkatnya harga sarana produksi akibat krisis ekonomi, padahal mereka dituntut untuk senantiasa meningkatkan produksi. Hama dan penyakit yang sewaktu-waktu dapat merusak tanaman perlu diantisipasi dan dikendalikan agar tidak menimbulkan kerugian. Pengendalian dengan pestisida yang diketahui dapat mencemari lingkungan adakalanya tidak ekonomis. Apalagi harga pestisida sudah melambung cukup tinggi setelah dicabutnya subsidi.
Kebijakan umum pemerintah di sektor pertanian saat ini adalah penyediaan makanan pokok (khususnya beras) dalam jumlah yang cukup sehingga tidak mengganggu cadangan devisa negara. Upaya ini ditempuh melalui berbagai paket kebijakan antara lain Bimas, Inmas, Insus, Supra Insus, dan paket teknologi seperti Panca Usaha Tani, dan program-program seperti Pengendalian Hama Terpadu, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dsb. Kebijakan yang ditempuh kadang-kadang berlawanan dengan kaidah kelestarian lingkungan dan pelestarian plasma nuftah. Pemakaian bahan kimia yang berlebihan sering menimbulkan pencemaran terhadap ekosistem secara keseluruhan. Penanaman tanaman pangan yang sejenis secara terus menerus tidak akan membantu memutuskan siklus kehidupan hama dan penyakit karena rantai makanannya tidak pernah terputus. Penggunaan bibit unggul secara ekstensif telah mengurangi keanekaragaman hayati dan ketahanan spesies terhadap penyimpangan-penyimpangan alami, termasuk kekeringan akibat Elnino (Murdiyarso, 1999).
Menurut Hermanto (1999) kemarau panjang pada tahun 1997 berdampak terhadap penurunan produksi padi dan berlanjut ke krisis pangan tahun 1998. Untuk mengejar kekurangan produksi, badan Litbang Pertanian memprakarsai penanaman padi tiga kali dalam setahun atau disebut pola intensitas pertanaman (IP) Padi 300. Dampak dari kebijakan ini tentu saja telah diperhitungkan, lazimnya kebijakan itu ditinjau kembali apabila dampaknya telah dirasakan oleh semua pihak seperti meledaknya wereng coklat tahun 1983 lalu.
PERMASALAHAN PERTANIAN INDONESIA DEWASA INI
Tahun 1984 hanya dalam kurun waktu 15 tahun dimulainya program Bimas Indonesia mencapai swasembada beras, yang sebelumnya Indonesia merupakan negara pengimport beras terbesar di dunia. Mempertahankan swasembada beras ternyata tidak mudah. Setelah 8 tahun berswasembada import beras terpaksa dilakukan kembali dengan volume yang terus meningkat. Segala bentuk usaha telah dilakukan untuk meningkatkan produksi, tetapi angka produksi sepertinya tidak mau beranjak dari level tertentu, bahkan ada kecendrungan makin menurun (Darwis, 1999).
Darwis (1999) menyatakan ada beberapa alasan yang selalu dikemukakan swasembada beras sulit dipertahankan antara lain adalah; (1). Pertambahan penduduk, peningkatan konsumsi beras perkapita, penciutan luas lahan sawah produktif di Jawa, lahan di luar Jawa umumnya kurang subur, penduduk yang tadinya makan sagu, singkong, jagung, ubi jalar, dan sebagainya telah beralih ke nasi. Pengaruh Elnino/ kemarau panjang, Lanina/banjir dan lain-lain alasan. Demikian banyaknya faktor yang mempengaruhi maka masuk akal kalau swasembada beras sulit dipertahankan. (2). Ada satu lagi penyebab sulitnya meningkatkan produksi beras, yaitu kemunduran prilaku agronomi dalam budidaya padi sawah, yang mencakup lima aspek.
a). Teknologi Benih.
Sekarang petani membuat pesemaian seadanya, bibit yang dihasilkan kurus, tinggi, dan ditanam 4-6 batang perumpun. Dulu diawal saat jayanya Bimas petunjuk pelaksanaan Bimas tentang pesemaian betul-betul diikuti dengan baik oleh petani, mulai dari seleksi benih, perendaman, seed treatment, pembuatan bedengan, populasi tabur, pupuk dasar, penyemprotan hama dan penyakit dsb, sehingga diperoleh bibit yang baik, gemuk dan subur, dalam waktu 20 hari siap untuk dipindah kesawah, ditanam 2-3 batang/rumpun.
b). Penanaman Serentak.
Dulu sebelum swasembada, tanam serentak dengan SK Bupati. Waktu tanam ditetapkan dengan kajian ilmiah sehubungan dengan datangnya musim hujan dan musim kemarau. Sekarang undang-undang budidaya tanaman membolehkan petani menanam apa saja dan kapan saja yang menurut mereka baik. Kini dalam satu hamparan sawah dapat dilihat tanaman padi dengan berbagai tingkatan umur, bahkan ada sawah yang belum tanam atau untuk pemeliharaan ikan. Akibatnya dalam satu hamparan selalu tersedia makanan untuk hama dan penyakit tanaman padi. Maka berkembang biaklah organisme pengganggu itu secara bebas, karena tidak ada waktu yang kosong untuk memutus siklus hidupnya.
c). Jarak tanam.
Akibat longgarnya penyuluhan, sistem kerja borongan, pemilik sawah orang kota, sedangkan petani hanya sebagai buruh tani, maka jarak tanam anjuran 20 x 20 cm tidak diikuti lagi dengan baik. Jarak tanam yang berlaku sekarang antara lain 25 x 25 cm, 30 x 30 cm, 40 x 40 cm. Akibatnya populasi tanaman berkurang yang berdampak terhadap penurunan produksi.
Dengan jarak tanam 20 x 20 cm populasi tanaman adalah 250.000 rumpun/ha. Bila jarak tanam 25 x 25 cm maka populasi tanaman 200.000 rumpun/ha. Dengan perubahan jarak tanam 5 cm saja penurunan populasi tanaman mencapai 20%. Kalau luas panen tahun 1998 tercatat 10,5 juta ha berarti terjadi penurunan populasi tanaman setara dengan 2,1 juta ha (2,1 juta ha x 4 ton/ha = 8,4 juta ton)
d). Indeks pertanaman.
Indeks pertanaman atau Indeks panen (IP) yaitu luas sawah yang ditanami atau dipanen dalam satu tahun dibagi dengan luas baku sawah. Tahun 1998/1999 luas pertanaman (2 musim) adalah 10,5 juta ha, sedangkan luas baku sawah 8,5 juta ha. Denga demikian indeks pertanaman adalah 10,5/8,5 = 1,24. Angka ini artinya IP sangat rendah. Dari IP padi sawah potensial 2,60, seyogianya dapat terealisasi IP 2.00 aktual. kalau itu tercapai berarti luas panen 8,5 juta ha x 2.00 = 17 juta ha. Tetapi panen aktual baru mencapai 10,5 juta ha. Ditinjau dari segi IP maka terdapat lahan sawah yang menganggur seluas 17-10,5 = 6,5 juta ha.
e). Pemupukan
Ada tiga macam kendala masalah pupuk yang sangat merugikan yaitu:
Jasis dan Karama (1999) menyatakan bahwa secara umum Indonsia dinyatakan sebagai daerah beriklim tropis basah (humid tropic) yang hyper-thermic. Penciri utama iklim Indonesia adalah curah hujan, kemudian diikuti oleh keragaman suhu yang sangat ditentukan oleh tinggi tempat (altitude). Walaupun sebagian besar wilayah Indonesia mendapatkan curah hujan cukup tinggi (>2000 mm/tahun dengan musim hujan > 6 bulan), terdapat juga beberapa wilayah yang cukup kering yang hampir mirip dengan daerah beriklim semi-arid tropic (SAT).
Darsiman, dkk, (1999) menyatakan daerah yang cukup kering di Sumatera Utara dengan zone agroklimat E2 cukup luas, yaitu sebagian daerah Langkat, sebagian Deli Serdang, sebagian Asahan, sebagian Simalungun, sebagian besar Karo, sebagian Tapanuli Utara dan sebagian Tapanuli Selatan dengan elevasi yang bervariasi mulai dari 5 m sampai dengan > 1400 m diatas permukaan laut. Daerah pada elevasi yang berbeda dicirikan oleh suhu udara yang berbeda, pada gilirannya air tanah tersedia juga berbeda disebabkan laju kehilangan air oleh evapotranspirasi juga berbeda. Neraca air bulanan untuk masing-masing daerah E2 diketahui lamanya defisit air pada masing-masing daerah tidak sama periodenya maupun intensitasnya. Masa periode pertumbuhan tanaman didaerah dataran tinggi lebih panjang dibandingkan dengan daerah dataran rendah. Hal ini diakibatkan oleh rendahnya suhu udara dan laju evapotranspirasi serta sifat tanah memegang air lebih baik didataran tinggi yang berperan menentukan air tersedia dalam tanah.
Sistem pola tanam di Sumatera Utara yang berlaku dewasa ini yang disusun tahun 1983 kecuali Asahan yang direvisi tahun 1995 semata-mata berdasarkan jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering dari curah hujan di masing-masing wilayah. Pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh kadar lengas tanah yang ditentukan oleh curah hujan, serta sangat ditentukan oleh sifat tanah menahan air dan laju evapotranspirasi.
Pemanfaatan informasi cuaca dan iklim untuk keperluan pertanian dewasa ini terkesan masih rendah, walaupun telah tersedia dalam berbagai bentuk informasi dari BMG.
UPAYA TINDAK LANJUT PENANGANAN KRISIS PANGAN
Berbagai upaya untuk tindak lanjut penanganan krisis pangan dan penyimpangan iklim yang dapat dilakukan antara lain:
KESIMPULAN
Sekarang petani membuat pesemaian seadanya, bibit yang dihasilkan kurus, tinggi, dan ditanam 4-6 batang perumpun. Dulu diawal saat jayanya Bimas petunjuk pelaksanaan Bimas tentang pesemaian betul-betul diikuti dengan baik oleh petani, mulai dari seleksi benih, perendaman, seed treatment, pembuatan bedengan, populasi tabur, pupuk dasar, penyemprotan hama dan penyakit dsb, sehingga diperoleh bibit yang baik, gemuk dan subur, dalam waktu 20 hari siap untuk dipindah kesawah, ditanam 2-3 batang/rumpun.
b). Penanaman Serentak.
Dulu sebelum swasembada, tanam serentak dengan SK Bupati. Waktu tanam ditetapkan dengan kajian ilmiah sehubungan dengan datangnya musim hujan dan musim kemarau. Sekarang undang-undang budidaya tanaman membolehkan petani menanam apa saja dan kapan saja yang menurut mereka baik. Kini dalam satu hamparan sawah dapat dilihat tanaman padi dengan berbagai tingkatan umur, bahkan ada sawah yang belum tanam atau untuk pemeliharaan ikan. Akibatnya dalam satu hamparan selalu tersedia makanan untuk hama dan penyakit tanaman padi. Maka berkembang biaklah organisme pengganggu itu secara bebas, karena tidak ada waktu yang kosong untuk memutus siklus hidupnya.
c). Jarak tanam.
Akibat longgarnya penyuluhan, sistem kerja borongan, pemilik sawah orang kota, sedangkan petani hanya sebagai buruh tani, maka jarak tanam anjuran 20 x 20 cm tidak diikuti lagi dengan baik. Jarak tanam yang berlaku sekarang antara lain 25 x 25 cm, 30 x 30 cm, 40 x 40 cm. Akibatnya populasi tanaman berkurang yang berdampak terhadap penurunan produksi.
Dengan jarak tanam 20 x 20 cm populasi tanaman adalah 250.000 rumpun/ha. Bila jarak tanam 25 x 25 cm maka populasi tanaman 200.000 rumpun/ha. Dengan perubahan jarak tanam 5 cm saja penurunan populasi tanaman mencapai 20%. Kalau luas panen tahun 1998 tercatat 10,5 juta ha berarti terjadi penurunan populasi tanaman setara dengan 2,1 juta ha (2,1 juta ha x 4 ton/ha = 8,4 juta ton)
d). Indeks pertanaman.
Indeks pertanaman atau Indeks panen (IP) yaitu luas sawah yang ditanami atau dipanen dalam satu tahun dibagi dengan luas baku sawah. Tahun 1998/1999 luas pertanaman (2 musim) adalah 10,5 juta ha, sedangkan luas baku sawah 8,5 juta ha. Denga demikian indeks pertanaman adalah 10,5/8,5 = 1,24. Angka ini artinya IP sangat rendah. Dari IP padi sawah potensial 2,60, seyogianya dapat terealisasi IP 2.00 aktual. kalau itu tercapai berarti luas panen 8,5 juta ha x 2.00 = 17 juta ha. Tetapi panen aktual baru mencapai 10,5 juta ha. Ditinjau dari segi IP maka terdapat lahan sawah yang menganggur seluas 17-10,5 = 6,5 juta ha.
e). Pemupukan
Ada tiga macam kendala masalah pupuk yang sangat merugikan yaitu:
- Rekomendasi pemupukan sudah ada, jenis pupuk, dosis, waktu dan informasi cara pemupukan sudah ada, bahkan untuk spesifik lokasi. Para petanipun sudah tahu bagaimana cara memupuk, tetapi pupuk tidak tersedia dalam jumlah yang dibutuhkan dan pada waktu dan tempat yang tepat. Ketersediaan pupuk sangat terasa akhir-akhir ini terutama pupuk P dan K.
- Tanaman memerlukan 14-16 jenis unsur hara essensial dari dalam tanah. Tetapi pupuk yang diberikan pada tanaman hanya mengandung unsur NPK, sementara pupuk kandang dan abu tidak lagi digunakan. Hal ini telah berlangsung selama 30 tahun. Lalu apakah kondisi tanah sawah saat ini masih sama dengan kondisi sebelum intensifikasi ?.
- Penurunan jumlah pemakaian pupuk oleh petani karena mahalnya pupuk sejak subsidi pupuk dihapus, bahkan mungkin ada petani tidak lagi menggunakan pupuk yang berdampak penurunan produksi padi.
Jasis dan Karama (1999) menyatakan bahwa secara umum Indonsia dinyatakan sebagai daerah beriklim tropis basah (humid tropic) yang hyper-thermic. Penciri utama iklim Indonesia adalah curah hujan, kemudian diikuti oleh keragaman suhu yang sangat ditentukan oleh tinggi tempat (altitude). Walaupun sebagian besar wilayah Indonesia mendapatkan curah hujan cukup tinggi (>2000 mm/tahun dengan musim hujan > 6 bulan), terdapat juga beberapa wilayah yang cukup kering yang hampir mirip dengan daerah beriklim semi-arid tropic (SAT).
Darsiman, dkk, (1999) menyatakan daerah yang cukup kering di Sumatera Utara dengan zone agroklimat E2 cukup luas, yaitu sebagian daerah Langkat, sebagian Deli Serdang, sebagian Asahan, sebagian Simalungun, sebagian besar Karo, sebagian Tapanuli Utara dan sebagian Tapanuli Selatan dengan elevasi yang bervariasi mulai dari 5 m sampai dengan > 1400 m diatas permukaan laut. Daerah pada elevasi yang berbeda dicirikan oleh suhu udara yang berbeda, pada gilirannya air tanah tersedia juga berbeda disebabkan laju kehilangan air oleh evapotranspirasi juga berbeda. Neraca air bulanan untuk masing-masing daerah E2 diketahui lamanya defisit air pada masing-masing daerah tidak sama periodenya maupun intensitasnya. Masa periode pertumbuhan tanaman didaerah dataran tinggi lebih panjang dibandingkan dengan daerah dataran rendah. Hal ini diakibatkan oleh rendahnya suhu udara dan laju evapotranspirasi serta sifat tanah memegang air lebih baik didataran tinggi yang berperan menentukan air tersedia dalam tanah.
Sistem pola tanam di Sumatera Utara yang berlaku dewasa ini yang disusun tahun 1983 kecuali Asahan yang direvisi tahun 1995 semata-mata berdasarkan jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering dari curah hujan di masing-masing wilayah. Pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh kadar lengas tanah yang ditentukan oleh curah hujan, serta sangat ditentukan oleh sifat tanah menahan air dan laju evapotranspirasi.
Pemanfaatan informasi cuaca dan iklim untuk keperluan pertanian dewasa ini terkesan masih rendah, walaupun telah tersedia dalam berbagai bentuk informasi dari BMG.
UPAYA TINDAK LANJUT PENANGANAN KRISIS PANGAN
Berbagai upaya untuk tindak lanjut penanganan krisis pangan dan penyimpangan iklim yang dapat dilakukan antara lain:
- Pemanfaatan cuaca dan iklim, (a) mempelajari sifat iklim dan memanfaatkan hasilnya untuk menyesuaikan pola tanam agar terhindar dari banjir atau kekeringan, (b) memetakan daerah rawan bencana alam banjir dan kekeringan untuk menyusun pola tanam dan memilih jenis tanaman/varietas, (c) memanfaatkan informasi dan prakiraan iklim untuk memberikan peringatan dini dan rekomendasi kepada masyarakat, (d) memilih tanaman yang sesuai dengan pola hujan, (e) melakukan pertanian konservasi, seperti terasering, menanam tanaman penutup tanah, melakukan pergiliran tanaman dan penghijauan DAS. (Jasis dan Karama ,1999).
- Memberdayakan secara maksimal penyuluh pertanian lapangan dalam menuntun petani dalam usaha pertaniannya agar kemunduran agronomi dapat dikembalikan pada posisi semula, serta berperan aktif dalam pemantauan cuaca dan pemasyarakatan informasi cuca/iklim kepada petani.
- Mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya penyimpangan iklim, dengan berbagai upaya (PERHIMPI, 1995) antara lain; a). Mengetahui dengan baik tingkat kerentanan daerah terhadap penyimpangan iklim. b). Mengetahui tantangan dan kendala yang dihadapi dalam melaksanakan langkah antisipasi dan penanggulangan dampak. c). Mengetahui upaya dan teknologi utama atau alternatif yang tersedia untuk menanggulangi dampak. d). Mengetahui dengan tepat teknologi yang akan digunakan diwilayah sasaran.
- Pendekatan strategis dan taktis (Handoko dan Las, 1997). Pendekatan Strategis meliputi penggunaan data iklim historis untuk analisis rata-rata yang berguna secara strategis untuk perencanaan pada kondisi iklim yang normal, berupa pendugaan periode kering, awal musim hujan dan kemarau, neraca air serta pendugaan umur tanaman. Pendekatan taktis diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang langsung dihadapi petani pada saat itu, baik pada kondisi normal maupun yang menyimpang. Salah satu bentuk pendekatan taktis adalah upaya mengantisipasi dampak kekeringan berdasarkan dugaan atau Prakiraan secara kuantitatif terhadap perubahan/penyimpangan iklim. Prakiraan cuaca sampai saat ini masih jauh dari sempurna, sehingga dalam pendekatan taktis disini dilakukan melalui teknik simulasi dan skenario. Dalam hal ini model simulsi neraca air merupakan salah satu contoh yang patut disimak yang selama ini mempunyai tingkat kepercayaan serta ketepatan yang tinggi.
- Secara terpadu dengan instansi terkait yang memanfaatkan data iklim meningkatkan sistem pemantauan/pengukuran unsur cuaca/iklim didaerah, sehingga antisipasi penyimpangan iklim dapat diketahui lebih awal, karena data-data itulah yang digunakan dengan berbagai metode untuk menyusun berbagai dugaan dan prakiraan cuaca harian, bulanan dan musim.
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sbb:
- Sektor pertanian dewasa ini masih tetap menempati posisi penting sebagai penyumbang Produk Domestik Bruto atas pendapatan nasional.
- Kejadian El Nino tahun 1997, berdampak terjadinya kemarau berkepanjangan, sehingga banyak areal tanaman pangan yang mengalami kekeringan, sebagian lahan tidak dapat ditanami, luas kekeringan mencapai 504.021 ha dengan puso 88.467 ha. Keadaan ini diperparah dengan adanya krisis moneter yang mengakibatkan menurunnya daya beli petani, dan meningkatnya harga sarana produksi pertanian.
- Permasalahan pertanian dewasa ini adalah Indonesia kembali sebagai negara pengimport beras, sementara swasembada masih sulit dipertahankan oleh adanya kendala-kendala yang antara lain, laju pertambahan penduduk dan adanya kemunduran prilaku agronomi ditingkat petani. Disisi lain sebetulnya ada daerah-daerah Indonesia yang tidak beriklim tropika basah, tetapi beriklim semi arid tropik, yang umumnya dengan tipe E2 (Oldeman). Pola tanam masih didasarkan oleh jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering dalam setahun. Sementara pemanfaatan informasi cuaca dan iklim untuk keperluan pertanian masih rendah.
- Upaya-upaya untuk menanggulangi dampak kekeringan hingga dewasa ini masih bersifat saran. Walaupun teknologinya telah tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
Darsiman, B,. Sutrisno., Mukri Siregar., Nazaruddin Hisyam. 1999. Kharakteristik Zone Agroklimat E2 di Sumatera Utara. Makalah Penunjang Kongres IV PERHIMPI dan Simposium Internasional I, Bogor, 18-20 Oktober 1999. 9 pp
Darwis, SN. 1999. Dosa-Dosa Agronomi dalam budidaya padi sawah. Agronomika. Vol. 1 (2):1-3.
Handoko., dan Irsal Las. 1997. Metodologi Pendekatan Strategis dan Taktis untuk Pendugaan serta Penanggulangan Kekeringan Tanaman. Sumber Daya Air dan Iklim Dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Kerjasama DEPTAN dengan PERHIMPI. p. 73-86.
Hermanto, 1999. Baru, Varietas Unggul Palagung. Agronomika. Vol 1 (2):12-14.
Hermanto, 1999. Tanaman Padi Tiga Kali di Saat Krisis Pangan. Agronomika. Vol 1 (2):26-28.
Jasis dan A. S. Karama. 1999. Kebijakan Departemen Pertanian dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Proc. Diskusi Panel PERHIMPI dengan Jurusan Geomet FMIPA-IPB, Puslittanag dan ICSA. Bogor. p. 1-10.
Koesmaryono, Y., R. Boer., H. Pawitan., Yusmin dan Irsal Las. 1999. Perdekatan Iptek dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Proc. Diskusi Panel PERHIMPI dengan Jur. Geomet FMIPA-IPB, Puslittanag dan ICSA. Bogor. p. 43-58.
Murdiyarso. D. 1999. Strategi dan Kebijakan Nasional dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Proc. Diskusi Panel PERHIMPI dengan Jurusan Geomet FMIPA-IPB, Puslittanag dan ICSA. Bogor. p. 32-35.
PERHIMPI. 1995. Rumusan Hasil Panel Diskusi Antisipasi dan Penanggulangan Kekeringan. Kerjasama PERHIMPI, PERAGI dan PERHEPI. Bogor.
Purba, S., Irsal Las., and M. Mardiharini. 1999. El Nino and Famine. Presented in International Symposium “ Land Use Change and Forest Management for Mitigation of Disaster and Impact of Climate Change, Bogor, 19-20 October, 1999.
0 komentar:
Post a Comment