PENDAHULUAN
Tanaman tebu (Saccharum
officinarum L) dapat tumbuh hampir disemua kelas tanah, tetapi tanah yang paling
cocok adalah yang mempunyai daya menahan air yang baik. Kebutuhan air ideal tanaman tebu berkisar
1500-2500 mm/tahun (Arifin dan Wardani, 1989).
Peranan tebu dari hari kehari makin strategis sejalan dengan makin
meningkatnya kebutuhan gula yang tentunya juga sejalan dengan makin
meningkatnya jumlah penduduk dan makin
berkembangnya industri (Nahrowi, dkk, 1989). Terbukti pada tahun 1988 saja Indonesia telah mengimpor gula sebesar 120
ton yang seterusnya dari tahun ketahun
terus meningkat. Dipihak lain produksi gula
Indonesia makin menurun sejalan semakin menciutnya lahan pertanaman tebu
yang telah tergeser oleh tanaman padi (Soelistyari, Utomo dan Soeprapto,
1989).
Salah satu upaya peningkatan produksi gula adalah melalui perluasan
areal pertanaman tebu di lahan kering di luar Jawa. Namun lahan diluar Jawa sebagian besar adalah
tanah Ultisol yang sangat bermasalah untuk ditanami tebu karena sifatnya yang
kurang baik, diantaranya daya menahan air
rendah, topsoil yang dangkal, aerasi yang jelek, bersifat masam, bahan
organik dan ketersediaan unsur hara sangat rendah ( Simeon, dkk, 1989).
Blotong adalah limbah pabrik gula yang dapat memperbaiki daya
menahan air tanah dan pupuk, serta memperbaiki kondisi tanah melalui
peningkatan kandungan karbon (Windiharto, 1989). Selain itu Arifin dan Wardani (1989)
melaporkan blotong juga mampu
menyumbangkan 200 kg N, 300 kg P2O5 dan 4 kg K2O per 1.000 ton tebu giling. Budijono dan Mulyadi (1995) melaporkan bahwa
aplikasi blotong pada tanah Ultisol dapat meningkatkan produktivitas lahan
perkebunan tebu dan dapat meningkatkan hablur 12-30%. Blantran de Rozari dan Baharsjah (1986)
melaporkan bahwa blotong sebagai limbah
pabrik gula karena teksturnya dan juga karena kandungan niranya menyebabkan
ia bersifat higroskopis dan jika dibenamkan kedalam tanah
diharapkan mampu dapat menyerap
air lebih banyak sehingga kelembabaan tanah terjaga lebih lama. Pemanfaatan blotong awalnya diilhami oleh
rendahnya produktivitas tebu akibat kekurangan air yang dipicu oleh rendahnya
daya tahan tanah terhadap air atau karena dangkalnya lapisan olah. Di PG Cintamanis daya jelajah akar hanya sampai kedalaman 25 cm dengan kandungan
air lebih kurang 4,5 cm (45 mm), dimana
jumlah ini hanya mampu memenuhi kebutuhan air tanman selama tiga atau empat
hari (Supardi dan Setijono, 1975 dalam Baharsjah, 1997).
Salah satu cara menurunkan
kemasaman tanah adalah dengan pengapuran.
Dolomit sebagai bahan kapur dapat berfungsi ganda, selain menurunkan
kemasaman tanah, juga dapat menyumbangkan unsur hara Ca dan Mg kedalam tanah
(Sujanto, dkk, 1983).
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei sampai Nopember 1996 hingga
tanaman tebu berusia 6 bulan, di kebun Percobaan Fakultas Pertanian UPMI
Desa Marindal II Deli Serdang. Bahan yang digunakan adalah bibit tebu
varietas M442-51 yang diperoleh dari P3GI Medan, blotong, dolomit, pupuk dasar
Urea, TSP dan KCl dan topsoil tanah Ultisol.
Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial
dengan 2 faktor dan dengan 3 ulangan.
Faktor pertama adalah faktor pemberian blotong terdiri dari 4 taraf
meliputi; 0 ; 20 ; 40; 80 ton/ha ( 0;
200; 400; 800 g/polibeg). Faktor kedua
adalah aplikasi Dolomit meliputi;
0.00; 1,50 ; 3,00; 6,00 ton/ha ( 0; 15; 30; 60 g/polibag).
Setiap perlakuan dilaksanakan dalam polibeg yang diisi tanah topsoil
Ultisol sebanyak 20 kg. Setiap polibeg
ditanam 1 mata tunas bibit tebu yang terlebih dulu telah dikecambahkan. Selain
perlakuan diatas tanaman juga diberi pupuk dasar 300 kg Urea/ha, 400 kg TSP/ha
dan 300 kg KCl/ha.
Parameter yang diukur antara lain (1). Tinggi Tanaman (cm) (2).
Jumlah tunas (anakan) (3). Diameter Batang (mm). (4). Bobot Tanaman tebu umur 6 bulan (kg).
HASIL PERCOBAAN
Hasil percobaan menunjukan bahwa pemberian blotong sangat nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah tunas, diameter batang dan bobot tanaman yang diukur pada umur 14 minggu setelah tanam data disajikan dalam Tabel 1.
Tabel
1. Tinggi tanaman (cm), jumlah
tunas, diameter batang (mm), bobot
tanaman (kg) (14 minggu setelah tanam).
Dari Tabel 1 dapat
dijelaskan bahwa perlakuan blotong
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah tunas, diameter batang dan
bobot tanaman. Sedangkan perlakuan
dolomit hanya nyata meningktkan tinggi tanaman, dan tidak nyata meningkatkan jumlah
tunas, diameter batang dan bobot tanaman.
Perlakuan Dolomit nyata
meningkatkan tinggi tanaman, namun belum mampu meningkatkan jumlah tunas, dimameter batang dan bobot
tanaman. Namun belum ada interaksi antara perlakuan blotong dengan dolomit
dalam penelitian ini.
Pengaruh Blotong.
Perlakuan blotong mampu meningkatkan tinggi tanaman, dimana tanaman tertinggi adalah 310,33 cm dengan perlakuan blotong 80 ton/ha, namun tidak nyata berbeda dengan perlakuan 40 ton/ha serta perlakuan 20 ton/ha dengan hasil masing-masing 309,42 cm dan 301,33 cm. Hubungan antara dosis blotong dengan tinggi tanaman membentuk persamaan Y = 296,25 + 0,210 B dengan nilai r = 0,676, seperti disajikan dalam Gambar 1. Pengaruhnya terhadap jumlah anakan, juga mampu meningkatkan jumlah anakan, dengan hasil tertinggi adalah 6,67 batang dengan perlakuan blotong 80 ton/ha, yang tidak nyata berbeda dengan perlakuan 40 ton/ha dengan jumlah anakan 6,08 batang. Hubungan antara dosis blotong dengan jumlah anakan membentuk persamaan Y = 5,150 + 0,020 B dengan nilai r = 0,765, seperti disajikan dalam Gambar 2. Pengaruh blotong terhadap diameter batang terlihat bahwa perlakuan 20 ton/ha tidak nyata berbeda dengan perlakuan 40 ton/ha serta perlakuan 80 ton/ha, dengan hasil masing-masing 23,00 cm, 23,75 cm dan 23,92 cm. Hubungan antara dosis blotong dengan diameter batang membentuk persamaan Y= 22,380 + 0,020 B dengan nilai r = 0,684, seperti yang disajikan dalam Gambar 3. Pengaruh blotong terhadap bobot tebu nyata meningkat, dimana bobot tertinggi pada perlakuan blotong 80 ton/ha dengan bobot 2,01 kg yang tidak nyata berbeda dengan perlakuan blotong 40 ton/ha dengan hasil 1,98 kg. Hubungan antara dosis blotong dengan bobot tebu membentuk persamaan Y = 1,660 + 0,005 B dengan nilai r = 0,688, seperti yang disajikan dalam Gambar 4.
Menurut Hendroko, dkk,
(1990) pemberian blotong 20 ton/ha sudah umum diberikan pada lahan-lahan yang tingkat produktivitas tanahnya relatif sudah baik, namun untuk lahan yang miskin dan kritis pemberian blotong 40 ton/ha baru mampu memberikan pengaruh
serta meningkatkan hasil serta meningkatkan produktivitas lahan. Hasil penelitian Sustanti (1986) menyatakan
bahwa pemberian blotong 24 ton/ha dan 48 ton/ha dapat menurunkan tegangan air
sebesar 23,3% dan 63% atau dapat meningkatkan kadar air dalam tanah, sehingga
pertumbuhan tanaman tidak mengalami hambatan.
Pada fase pertumbuhan vegetatif tanaman tebu banyak membutuhkan air
(Hadisaputro, dkk, 1994). Wargani, dkk (1989) menyatakan bahwa blotong yang
berperan sebagai bahan organik mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti bulk
density, porositas, stabilitas agregat dan daya menahan air. Pada kesempatan lain Budijono dan Mulyadi
(1995) melaporkan bahwa pemberian
blotong sampai taraf 100 ton/ha nyata meningkatkan bobot tebu, karena peningkatan
bobot tebu diakibatkan oleh peningkatan tinggi tanaman, jumlah anakan dan
diameter batang.
Gambar 1. Hubungan dosis blotong dengan tinggi tananman (cm) |
Gambar 2. Hubungan dosis blotong dengan jumlah anakan (tunas) |
Gambar 3. Hubungan dosis blotong dengan diameter batang (mm) |
Gambar 4. Hubungan dosis blotong dengan bobot tanaman tebu |
0 komentar:
Post a Comment