Abstrak
Teknologi antisipasi kejadian iklim ekstrim (ENSO) untuk tanaman padi sangat strategis dan bertujuan agar kerugian petani dapat diminimalisir. Fenomena El Nino tahun 1997 berdampak pada terjadinya kemarau panjang, sehingga banyak areal tanaman pangan yang mengalami kekeringan yang mencapai 504.021 ha dengan puso 88.467 ha. Keadaan ini diperparah dengan adanya krisis moneter yang mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya harga sarana produksi pertanian. Pengalaman selama ini daerah Sumatera Utara relative rendah terkena dampak El-Nino dengan pengurangan curah hujan rata-rata 22%. Namun demikian dengan telah terjadinya perubahan iklim bumi dan telah terjadinya pemanasan global, kejadian El-nino dimasa yang akan datang yang diprediksi akan makin kerap terjadi dan semakin pendek periodenya maka mengharuskan kita makin mewaspadainya dimasa yang akan datang. Teknologi antisipasi ENSO antara lain dengan pemanfaatan informasi BMKG berupa peringatan dini/Early warning system (EWS) terjadinya ENSO, serta melaksanakan penanggulangan pada daerah yang berpotensi terkena dampaknya. Hal ini dapat didesiminasikan dengan memberdayakan penyuluh pertanian lapangan dalam, untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh ENSO.
PENDAHULUAN
Sektor pertanian dewasa ini masih tetap menempati posisi penting sebagai penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) atas pendapatan nasional. Dengan demikian upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan ketahanan ekonomi. Hal ini terbukti pada saat Indonesia menghadapi krisis ekonomi, sektor pertanian tetap tumbuh positif, sedangkan sektor lainnya mengalami pertumbuhan negatif.
Pada tahun 1997 muncul fenomena Elnino yang berdampak terjadinya kemarau berkepanjangan, sehingga banyak areal tanaman pangan yang mengalami kekeringan, sebagian lahan tidak dapat ditanami, luas kekeringan mencapai 504.021 ha dengan puso 88.467 ha. Keadaan ini diperparah dengan adanya krisis moneter yang mengakibatkan menurunnya daya beli petani dan meningkatnya harga sarana produksi pertanian sehingga pada akhirnya Indonesia kembali sebagai negara pengimport beras dalam jumlah besar (Jasis dan Karama, 1999). Dalam suasana krisis ekonomi, banyak perusahaan yang tidak mampu lagi melanjutkan usahanya sehingga banyak terjadi pemutusan hubungan kerja yang tentu saja menambah angka pengangguran. Disisi lain permintaan terhadap produksi pertanian terus meningkat sementara upaya peningkatan produksi antara lain dibatasi oleh sempitnya kepemilikan lahan. Koesmaryono, dkk (1999) melaporkan penyimpangan iklim akibat terjadinya El Nino dan La Nina telah menimbulkan dampak yang luas pada kehidupan manusia dan umumnya bersifat negatif. Kejadian kekeringan akibat El Nino telah menyebabkan meningkatnya luas pertanaman yang terkena kekeringan mencapai 8-10 kali lipat dari kondisi normal, sebaliknya La Nina telah menyebabkan meningkatnya luas pertanaman terkena banjir 4-5 kali lipat dari normal. Purba, dkk, (1999) menyatakan akibat El Nino 1997 telah menimbulkan krisis ekonomi yang berdampak import beras mencapai 4,8 juta ton pada tahun 1998.
Permasalahan dalam antisipasi kejadian ENSO selama ini walaupun informasinya telah disampaikan oleh BMG adalah informasi tersebut belum sampai kepada masyarakat karena keterbatasan sarana dan prasarana informasi dan komunikasi ditingkat Kabupaten, serta lemahnya system penyuluhan informasi tersebut. Masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap aspek cuaca dan iklim termasuk penyimpangan cuaca dan iklim. Hal ini semestinya memerlukan program sosialisasi tentang peran dan manfaat informasi iklim, terutama dalam mengantisipasi dampak negative penyimpangan iklim. Dalam hal ini peran Pemerintah Daerah dan Dinas terkait merupakan kunci keberhasilan memasyarakatkan informasi ini.
Hingga dewasa ini belum ada teknologi yang dapat mengubah peristiwa cuaca/iklim kecuali dalam skala mikro seperti pemanfaatan rumah kaca. Oleh sebab itu langkah yang paling bijaksana adalah menyesuaikan praktek berbudi daya sesuai dengan keadaan iklim setempat, dan mengantisipasinya jika muncul peristiwa iklim yang ekstrim.
MENGENAL ENSO DAN DAMPAKNYA
El-Nino adalah fenomena cuaca berskala global yang ditandai dengan melemahnya angin pasat dan bergesernya pusat konvegensi sirkulasi walker sebagai akibat memanasnya suhu permukaan laut di wilayah Samudera Pasifik bagian tengah. Akibatnya suhu permukaan laut di sekitar wilayah perairan Indonesia cenderung dingin sehingga mengurangi tersedianya uap air di udara yang berakibat peluang terbentuknya awan dan hujan di wilayah Indonesia berkurang. Oleh ahli meteorologi, terjadinya El-Nino dan La-Nina dikaitkan dengan turun naiknya suatu indicator yang dikenal dengan istilah Southern Oscillation Index (SOI). SOI merupakan suatu nilai selisih tekanan udara permukaan antara Tahiti dan Darwin. Kedua tempat tersebut oleh para pakar klimatologi dianggap dapat mewakili kawasan Samudera Hindia (Darwin) dan kawasan Samudera Pasifik (Tahiti).
Kedua kawasan tersebut merupakan sumber uap air yang sangat besar di dunia. Pada saat SOI bernilai positif berarti angin pasat menguat, dan keadaan ini umumnya bertepatan dengan periode La-Nina. Sebaliknya jika SOI negative menandakan melemahnya angin pasat dan umumnya bertepatan dengan periode El-Nino. Jika peristiwa El-Nino tersebut disertai dengan nilai SOI negative dalam satu fase, maka disebut sebagai ENSO. Periode ENSO mulai berlangsung bila SOI bernilai -10.
Fenomena El-Nino Southern Oscilation (ENSO) berkaitan dengan memanasnya suhu permukaan laut kawasan Pasifik Tropis bagian tengah dan timur lebih panas dari normalnya. Pada saat kejadian El-Nino, daerah yang biasanya wilayah basah seperti Indonesia menjadi kering, sedangkan yang biasanya kering seperti pantai barat Amerika manjadi basah. Musim kering yang berkepanjangan di Indonesia pada saat terjadinya El-Nino akan berdampak terhadap penurunan atau bahkan kegagalan produksi pangan akibat berkurangnya curah hujan. Pada saat fenomena El-Nino dampak selama ini terjadi penurunan produksi padi di Indonesia. Penurunan produksi yang terjadi pada tahun 1994 sekitar 1,54 juta ton dan tahun 1997 sekitar 1,72 juta ton (Perdinan, 2000).
Ratag, dkk (1998) menyatakan bahwa pada kondisi konsentrasi CO2 atmosfir dua kali lipat dari konsentrasi saat ini, ferkuensi kejadian ENSO yang saat ini terjadi sekali dalam 3-7 tahun akan meningkat menjadi sekali dalam 2-5 tahun. Apabila konsentrasinya 3 kali konsentrasi sekarang, frekuensi kejadian meningkat menjadi 2 sampai tiga kali lipat. Dengan demikian dalam kondisi terjadinya pemanasan global, frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim akan meningkat. Pemanasan global diyakini akan mengarah pada terjadinya penurunan curah hujan yang berlebihan pada suatu lokasi tertentu dan peningkatan curah hujan yang berlebihan ditempat lain. Dengan demikian tingkat resiko terkena kekeringan atau kebanjiran pada masa mendatang akan semakin besar. Menurut Tjasyono (1997) bahwa pengaruh El-Nino kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh system moonson (Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali dan sebagian besar kawasan Indonesia bagian Timur, dan lemah pada daerah dengan system equatorial (Sumatera bagian tengah, Kalimantan tengah, dan daerah-daerah yang dilewati garis khatulistiwa), tidak jelas pengaruhnya pada daerah dengan sitem local seperti Maluku. Darsiman, dkk (1999) melaporkan dalam evaluasi El-Nino 1997/1998 pengaruhnya cukup nyata di Sumatera Utara walaupun dampaknya tidak begitu besar karena persentase berkurangannya curah hujan dari rata-ratanya dari berbagai tempat tergolong rendah bervariasi antara 3% - 36% dengan rata-rata 22%.
Timbulnya peristiwa iklim ektrim diasosiasikan dengan terjadinya penyimpangan iklim yaitu suatu penyimpangan keadaan cuaca dan iklim dari keadaan umum atau rata-ratanya dalam selang waktu tertentu. Salah satu bentuk penyimpangan cuaca atau iklim adalah terjadinya fenomena El-nino yang dirasakan akhir-akhir ini makin kerap muncul. Perilaku penyimpangan munculnya El-Nino yang semakin kerap dan parah menimbulkan spekulasi kuat bahwa ada factor penyebab dibalik itu yang diduga berasal dari peningkatan aktivitas manusia. Saat ini perhatian ditujukan pada dugaan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global dapat meningkatkan kekerapan dan keparahan peristiwa El-Nino Southerm Oscilliation (ENSO).
Krisis pangan yang terjadi belakangan ini lebih banyak disebabkan oleh penurunan produksi padi pada tahun 1997 akibat penyimpangan iklim Elnino (Hermanto, 1999). Pada kesempatan lain Hermanto (1999) menyatakan dewasa ini permintaan akan padi, kedelai dan jagung terus meningkat, sementara produksinya mengalami penurunan. Dalam beberapa tahun terakhir upaya peningkatan produksi memang dihadapkan pada berbagai kendala, baik teknis maupun non teknis. Petani pada umumnya kekurangan modal usaha tani, kini makin tak berdaya karena meningkatnya harga sarana produksi akibat krisis ekonomi, padahal mereka dituntut untuk senantiasa meningkatkan produksi.
Kebijakan umum pemerintah di sektor pertanian selama ini adalah penyediaan makanan pokok (khususnya beras) dalam jumlah yang cukup sehingga tidak mengganggu cadangan devisa negara. Upaya ini ditempuh melalui berbagai paket kebijakan antara lain Bimas, Inmas, Insus, Supra Insus, dan paket teknologi seperti Panca Usaha Tani, dan program-program seperti Pengendalian Hama Terpadu, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dsb. Kebijakan yang ditempuh kadang-kadang berlawanan dengan kaidah kelestarian lingkungan dan pelestarian plasma nuftah. Pemakaian bahan kimia yang berlebihan sering menimbulkan pencemaran terhadap ekosistem secara keseluruhan. Penanaman tanaman pangan yang sejenis secara terus menerus tidak akan membantu memutuskan siklus kehidupan hama dan penyakit karena rantai makanannya tidak pernah terputus. Penggunaan bibit unggul secara ekstensif telah mengurangi keanekaragaman hayati dan ketahanan spesies terhadap penyimpangan-penyimpangan alami, termasuk kekeringan akibat Elnino (Murdiyarso, 1999).
Akhir-akhir ini proses budidaya tanaman pangan selalu mendapat gangguan sebagai akibat terjadinya banjir dan kekeringan yang cukup serius. Gangguan/dampak yang ditimbulkan menjadi semakin berat apabila terjadi anomali iklim (Elnino atau Lanina). Berdasarkan hasil monitoring, kekeringan dan banjir yang terjadi pada tanaman padi dalam kurun waktu lima tahun terakhir Jafar Hafsah (2003) melaporkan seperti yang disederhanakan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Dampak kekeringan dan kebanjiran dalam tahun terakhir di Indonesia.
Tahun Kering (ha) Puso (ha) Hilang hasil (ton) Kerugian (Rp)
1998-2002 175.249 20.885 390.000 4.68 M
2002 348.512 41.690 778.000 933.6 M
s/d Agus 2003 467.106 96.540 1.209.077 1.8 T
Tahun Banjir (ha)
1998-2002 198.080 46.093 487.000 584.4 M
2002 219.580 63.459 564.000 676.8 M
S/d Juli 2003 113.362 27.983 282.000 338.4 M
PERMASALAHAN PERTANIAN INDONESIA
Menurut Hermanto (1999) kemarau panjang pada tahun 1997 berdampak terhadap penurunan produksi padi dan berlanjut ke krisis pangan tahun 1998. Untuk mengejar kekurangan produksi, badan Litbang Pertanian memprakarsai penanaman padi tiga kali dalam setahun atau disebut pola intensitas pertanaman (IP) Padi 300. Dampak dari kebijakan ini tentu saja telah diperhitungkan, lazimnya kebijakan itu ditinjau kembali apabila dampaknya telah dirasakan oleh semua pihak seperti meledaknya wereng coklat tahun 1983 lalu.
Tahun 1984 hanya dalam kurun waktu 15 tahun setelah dimulainya program Bimas Indonesia mencapai swasembada beras, yang sebelumnya Indonesia merupakan negara pengimport beras terbesar di dunia. Mempertahankan swasembada beras ternyata tidak mudah. Setelah 8 tahun berswasembada import beras terpaksa dilakukan kembali dengan volume yang terus meningkat. Segala bentuk usaha telah dilakukan untuk meningkatkan produksi, tetapi angka produksi sepertinya tidak mau beranjak dari level tertentu, bahkan ada kecendrungan makin menurun (Darwis, 1999).
Darwis (1999) menyatakan ada beberapa alasan yang selalu dikemukakan swasembada beras sulit untuk dipertahankan antara lain adalah :
- Pertambahan penduduk,
- peningkatan konsumsi beras perkapita,
- penciutan luas lahan sawah produktif di Jawa, lahan di luar Jawa umumnya kurang subur, penduduk yang tadinya makan sagu, singkong, jagung, ubi jalar, dan sebagainya telah beralih ke nasi.
- Pengaruh Elnino/kemarau panjang,
- Lanina/banjir dan lain-lain alasan.
Teknologi Benih.
Saat ini, sistem penyemaian petani dengan cara konvensional, bibit yang dihasilkan kurus, tinggi, dan ditanam 4-6 batang perumpun. Pada awal kejayaan Bimas, petunjuk pelaksanaan Bimas tentang penyemaian betul-betul diikuti dengan baik oleh petani, mulai dari seleksi benih, perendaman, seed treatment, pembuatan bedengan, populasi tabur, pupuk dasar, penyemprotan hama dan penyakit dsb, sehingga diperoleh bibit yang baik, gemuk dan subur, dalam waktu 20 hari siap untuk dipindah ke sawah, ditanam 2-3 batang/rumpun.
Penanaman Serentak.
Sebelum swasembada, jadwal tanam dilakukan dengan serentak melalui intruksi dengan diterbitkannya SK Bupati. Waktu tanam ditetapkan dengan kajian ilmiah sehubungan dengan datangnya musim hujan dan musim kemarau. Saat ini, undang-undang budidaya tanaman membolehkan petani menanam apa saja dan kapan saja yang menurut mereka baik. Kini dalam satu hamparan sawah dapat dilihat tanaman padi dengan berbagai tingkatan umur, bahkan ada sawah yang belum tanam atau untuk pemeliharaan ikan. Akibatnya dalam satu hamparan selalu tersedia makanan untuk hama dan penyakit tanaman padi. Maka berkembang biaklah organisme pengganggu itu secara bebas, karena tidak ada waktu yang kosong untuk memutus siklus hidupnya.
Jarak tanam.
Akibat longgarnya penyuluhan dan sistem kerja borongan, pemilik sawah orang kota, sedangkan petani hanya sebagai buruh tani, maka jarak tanam anjuran 20 x 20 cm tidak diikuti lagi dengan baik. Jarak tanam yang berlaku saat ini dengan spasi antara lain 25 x 25 cm, 30 x 30 cm, 40 x 40 cm. Akibatnya populasi tanaman berkurang yang berdampak terhadap penurunan produksi. Dengan jarak tanam 20 x 20 cm populasi tanaman adalah 250.000 rumpun/ha. Bila jarak tanam 25 x 25 cm maka populasi tanaman 200.000 rumpun/ha. Dengan perubahan jarak tanam 5 cm saja penurunan populasi tanaman mencapai 20%. Bila luas panen tahun 1998 tercatat 10,5 juta ha berarti telah terjadi penurunan populasi tanaman setara dengan 2,1 juta ha (2,1 juta ha x 4 ton/ha = 8,4 juta ton).
Indeks pertanaman.
Indeks pertanaman atau Indeks panen (IP) yaitu luas sawah yang ditanami atau dipanen dalam satu tahun dibagi dengan luas baku sawah. Tahun 1998/1999 luas pertanaman (2 musim) adalah 10,5 juta ha, sedangkan luas baku sawah 8,5 juta ha. Denga demikian indeks pertanaman adalah 10,5/8,5 = 1,24. Angka ini artinya IP sangat rendah. Dari IP padi sawah potensial 2,60, seyogianya dapat terealisasi IP 2.00 aktual. kalau itu tercapai berarti luas panen 8,5 juta ha x 2.00 = 17 juta ha. Tetapi panen aktual baru mencapai 10,5 juta ha. Ditinjau dari segi IP maka terdapat lahan sawah yang menganggur seluas 17-10,5 = 6,5 juta ha.
Pemupukan
Ada tiga kendala pada proses pemupukan yang sangat merugikan yaitu, pertama, rekomendasi pemupukan sudah ada, jenis pupuk, dosis, waktu dan informasi cara pemupukan sudah ada, bahkan untuk spesifik lokasi. Para petanipun sudah mengetahui bagaimana cara memupuk, tetapi pupuk tidak tersedia dalam jumlah yang dibutuhkan dan pada waktu dan tempat yang tepat. Ketersediaan pupuk sangat terasa akhir-akhir ini terutama pupuk P dan K. Kedua, Tanaman memerlukan 14-16 jenis unsur hara essensial dari dalam tanah. Tetapi pupuk yang diberikan pada tanaman hanya mengandung unsur NPK, sementara pupuk kandang dan abu tidak lagi digunakan. Hal ini telah berlangsung selama 30 tahun. Lalu apakah kondisi tanah sawah saat ini masih sama dengan kondisi sebelum intensifikasi ?. Ketiga, penurunan jumlah pemakaian pupuk oleh petani karena mahalnya pupuk sejak subsidi pupuk dihapus, bahkan mungkin ada petani tidak lagi menggunakan pupuk yang berdampak penurunan produksi padi.
Jasis dan Karama (1999) menyatakan bahwa secara umum Indonsia dinyatakan sebagai daerah beriklim tropis basah (humid tropic) yang hyper-thermic. Penciri utama iklim Indonesia adalah curah hujan, kemudian diikuti oleh keragaman suhu yang sangat ditentukan oleh tinggi tempat (altitude). Walaupun sebagian besar wilayah Indonesia mendapatkan curah hujan cukup tinggi (>2000 mm/tahun dengan musim hujan >6 bulan), terdapat juga beberapa wilayah yang cukup kering yang hampir mirip dengan daerah beriklim semi-arid tropic (SAT).
Darsiman, dkk, (1999) menyatakan daerah yang cukup kering di Sumatera Utara dengan zone agroklimat E2 cukup luas, yaitu sebagian daerah Langkat, sebagian Deli Serdang, sebagian Asahan, sebagian Simalungun, sebagian besar Karo, sebagian Tapanuli Utara dan sebagian Tapanuli Selatan dengan elevasi yang bervariasi mulai dari 5 m sampai dengan >1400 m diatas permukaan laut. Daerah pada elevasi yang berbeda dicirikan oleh suhu udara yang berbeda, pada gilirannya air tanah tersedia juga berbeda disebabkan laju kehilangan air oleh evapotranspirasi juga berbeda. Neraca air bulanan untuk masing-masing daerah E2 diketahui lamanya defisit air pada masing-masing daerah tidak sama periodenya maupun intensitasnya. Masa periode pertumbuhan tanaman didaerah dataran tinggi lebih panjang dibandingkan dengan daerah dataran rendah. Hal ini diakibatkan oleh rendahnya suhu udara dan laju evapotranspirasi serta sifat tanah memegang air lebih baik didataran tinggi yang berperan menentukan air tersedia dalam tanah.
Sistem pola tanam di Sumatera Utara yang berlaku dewasa ini yang disusun tahun 1983 kecuali Asahan yang direvisi tahun 1995 semata-mata berdasarkan jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering dari curah hujan di masing-masing wilayah. Sedangkan pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh kadar lengas tanah yang ditentukan oleh curah hujan, serta sangat ditentukan oleh sifat tanah menahan air dan laju evapotranspirasi. Pemanfaatan informasi cuaca dan iklim untuk keperluan pertanian dewasa ini terkesan masih rendah, walaupun telah tersedia dalam berbagai bentuk informasi dari BMKG.
TEKNOLOGI ANTISIPASI DAMPAK ENSO
Berbagai upaya tindak lanjut penanganan dampak ENSO serta penyimpangan iklim yang dapat dilakukan antara lain:
- Pemanfaatan informasi cuaca dan iklim.
- Mempelajari sifat iklim dan memanfaatkan hasilnya untuk menyesuaikan pola tanam agar terhindar dari banjir atau kekeringan.
- Memetakan daerah rawan bencana alam banjir dan kekeringan untuk menyusun pola tanam dan memilih jenis tanaman/varietas.
- Memanfaatkan informasi dan prakiraan iklim untuk memberikan peringatan dini dan rekomendasi kepada masyarakat.
- Memilih tanaman yang sesuai dengan pola hujan.
- Melakukan pertanian konservasi, seperti terasering, menanam tanaman penutup tanah, melakukan pergiliran tanaman dan penghijauan DAS. (Jasis dan Karama ,1999).
- Memberdayakan secara maksimal penyuluh pertanian lapangan dalam menuntun petani dalam usaha pertaniannya agar kemunduran agronomi dapat dikembalikan pada posisi semula, serta berperan aktif dalam pemantauan cuaca dan pemasyarakatan informasi cuca/iklim kepada petani.
Mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya penyimpangan iklim, dengan berbagai upaya (PERHIMPI, 1995) antara lain;
- Mengetahui dengan baik tingkat kerentanan daerah terhadap penyimpangan iklim.
- Mengetahui tantangan dan kendala yang dihadapi dalam melaksanakan langkah antisipasi dan penanggulangan dampak.
- Mengetahui upaya dan teknologi utama atau alternatif yang tersedia untuk menanggulangi dampak.
- Mengetahui dengan tepat teknologi yang akan digunakan diwilayah sasaran.
Pendekatan strategis dan taktis (Handoko dan Las, 1997). Pendekatan Strategis meliputi penggunaan data iklim historis untuk analisis rata-rata yang berguna secara strategis untuk perencanaan pada kondisi iklim yang normal, berupa pendugaan periode kering, awal musim hujan dan kemarau, neraca air serta pendugaan umur tanaman. Pendekatan taktis diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang langsung dihadapi petani pada saat itu, baik pada kondisi normal maupun yang menyimpang. Salah satu bentuk pendekatan taktis adalah upaya mengantisipasi dampak kekeringan oleh ENSO berdasarkan dugaan atau Prakiraan secara kuantitatif terhadap perubahan/penyimpangan iklim. Dalam hal ini model simulsi neraca air merupakan salah satu contoh yang patut disimak yang selama ini mempunyai tingkat kepercayaan serta ketepatan yang tinggi.
Memanfaatkan data iklim meningkatkan sistem pemantauan/pengukuran unsur cuaca/iklim didaerah, sehingga antisipasi penyimpangan iklim dapat diketahui lebih awal, karena data-data itulah yang digunakan dengan berbagai metode untuk menyusun berbagai dugaan dan prakiraan cuaca harian, bulanan dan musim, setelah disesuaikan dengan data pantauan Radar dan data satelit.
Secara khusus antisipasi dampak ENSO dapat dilakukan sbb:
- Mengatur pemberian air dengan cara selang seling dalam jumlah seperlunya saja, dengan demikian jangkauan kemampuan pengairan yang ada, akan tetap cukup luas.
- Mengatur pemberian air sesuai kebutuhan minimal tanaman.
- Mengusahakan menanam varietas padi yang berumur lebih pendek serta agak toleran kekeringan seperti IR-36, Batang Pane, dsb.
- Penetapan serta mamatuhi waktu tanam secara ketat, berdasarkan perhitungan pola curah hujan setempat
- Penanaman tanaman pangan yang toleran terhadap kekeringan seperti berbagai jenis kacangan.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sbb:
- Sektor pertanian dewasa ini masih tetap menempati posisi penting sebagai penyumbang Produk Domestik Bruto atas pendapatan nasional.
- Kejadian El Nino tahun 1997, berdampak terjadinya kemarau berkepanjangan, sehingga banyak areal tanaman pangan yang mengalami kekeringan, sebagian lahan tidak dapat ditanami, luas kekeringan mencapai 504.021 ha dengan puso 88.467 ha. Keadaan ini diperparah dengan adanya krisis moneter yang mengakibatkan menurunnya daya beli petani, dan meningkatnya harga sarana produksi pertanian.
- Permasalahan pertanian dewasa ini adalah Indonesia kembali sebagai negara pengimport beras, sementara swasembada masih sulit dipertahankan oleh adanya kendala-kendala yang antara lain, laju pertambahan penduduk dan adanya kemunduran prilaku agronomi ditingkat petani. Disisi lain sebetulnya ada daerah-daerah Indonesia yang tidak beriklim tropika basah, tetapi beriklim semi arid tropik, yang umumnya dengan tipe E2 (Oldeman). Pola tanam masih didasarkan oleh jumlah bulan basah dan jumlah bulan kering dalam setahun. Sementara pemanfaatan informasi cuaca dan iklim untuk keperluan pertanian masih rendah.
- Upaya-upaya untuk menanggulangi dampak kekeringan hingga dewasa ini masih bersifat saran. Walaupun teknologinya telah tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
Darsiman, B,. Sutrisno., Mukri Siregar., Nazaruddin Hisyam. 1999. Kharakteristik Zone Agroklimat E2 di Sumatera Utara. Makalah Penunjang Kongres IV PERHIMPI dan Simposium Internasional I, Bogor, 18-20 Oktober 1999. 9 pp
Darwis, SN. 1999. Dosa-Dosa Agronomi dalam budidaya padi sawah. Agronomika. Vol. 1 (2):1-3.
Handoko., dan Irsal Las. 1997. Metodologi Pendekatan Strategis dan Taktis untuk Pendugaan serta Penanggulangan Kekeringan Tanaman. Sumber Daya Air dan Iklim Dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Kerjasama DEPTAN dengan PERHIMPI. p. 73-86.
Hermanto, 1999. Baru, Varietas Unggul Palagung. Agronomika. Vol 1 (2):12-14.
Hermanto, 1999. Tanaman Padi Tiga Kali di Saat Krisis Pangan. Agronomika. Vol 1 (2):26-28.
Jasis dan A. S. Karama. 1999. Kebijakan Departemen Pertanian dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Proc. Diskusi Panel PERHIMPI dengan Jurusan Geomet FMIPA-IPB, Puslittanag dan ICSA. Bogor. p. 1-10.
Koesmaryono, Y., R. Boer., H. Pawitan., Yusmin dan Irsal Las. 1999. Perdekatan Iptek dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Proc. Diskusi Panel PERHIMPI dengan Jur. Geomet FMIPA-IPB, Puslittanag dan ICSA. Bogor. p. 43-58.
Murdiyarso. D. 1999. Strategi dan Kebijakan Nasional dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Proc. Diskusi Panel PERHIMPI dengan Jurusan Geomet FMIPA-IPB, Puslittanag dan ICSA. Bogor. p. 32-35.
Perdinan. 2003. Fenomena ENSO dikaitkan dengan produsi padi nasional dan potensi perikanan di perairan selatan Jawa Timur Bali. Simposium Meteorologi Pertanian VI. Bogor 9-10 September 2003.
PERHIMPI. 1995. Rumusan Hasil Panel Diskusi Antisipasi dan Penanggulangan Kekeringan. Kerjasama PERHIMPI, PERAGI dan PERHEPI. Bogor.
Purba, S., Irsal Las., and M. Mardiharini. 1999. El Nino and Famine. Presented in International Symposium “ Land Use Change and Forest Management for Mitigation of Disaster and Impact of Climate Change, Bogor, 19-20 October, 1999.
0 komentar:
Post a Comment