Indeks Kerentanan Seismik

Kerentanan (vulnerability) 


adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian kondisi, umumnya dapat berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak-tanggap terhadap dampak bahaya.

Jenis-jenis kerentanan :


Kerentanan Fisik seperti Bangunan, Infrastruktur, Konstruksi yang lemah.
Kerentanan Sosial seperti  Kemiskinan, Lingkungan, Konflik, tingkat pertumbuhan yang tinggi, anak-anak dan wanita, lansia.
Kerentanan Mental seperti ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya percaya diri, dan lainnya.

Dalam  buku dan difinisi Ilmu kebencanaan, kerentanan seismik belum terdifinisikan, karnanya kerentanan seismik belum masuk kedalam jenis-jenis kerentanan. Pada kenyataannya, kerentanan seismik dapat dikatagorikan sebagai suatu kondisi yang dapat menimbulkan bencana, seperti difinisi dari kerentanan itu sendiri.

Bagaimana kerentanan seismik dapat menimbulkan bencana...?


Jenis-jenis kerentanan salah satunya adalah kerentanan fisik, hal ini dicontohkan seperti kerentanan bangunan, infrastruktur dan konstruksi yang lemah. Kerentanan seimik sangat erat hubungannya dengan kerentanan fisik. Dalam hal ini, kerentanan seismik tergantung pada kondisi lapisan sedimen atau material penyusun lapisan tanah tempat dimana bangunan/konstruksi tersebut berada. Konstruksi yang kuat juga akan mengalami kerusakan parah apabila berdiri pada wilayah dengan jenis tanah yang lunak, hal ini akan terjadi saat gempa bumi dimana lapisan tanah dapat terliquifaksi. 

Liquifaksi


Berdasarkan difinisi dari wikipedia, liquifaksi adalah suatu fenomena perilaku tanah yang jenuh atau sebagian jenuh secara substansial kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, biasanya gempa bumi yang bergetar atau perubahan lain secara tiba-tiba dalam kondisi menegang, menyebabkan tanah tersebut berperilaku seperti cairan atau air berat.

Fenomena ini paling sering diamati pada tanah berpasir yang jenuh dengan kepadatan rendah atau tidak padat. Hal ini disebabkan karena pasir yang longgar memiliki kecenderungan untuk memampat ketika diberikan beban, sebaliknya pasir padat cenderung meluas dalam volume atau melebar. Jika tanah jenuh dengan air, suatu kondisi yang sering terjadi ketika tanah berada di bawah permukaan air tanah atau permukaan laut, maka air mengisi kesenjangan di antara butir-butir tanah ("ruang pori"). 

Sebagai respon terhadap tanah yang memampat, air ini meningkatkan tekanan dan mencoba untuk mengalir keluar dari tanah ke zona bertekanan rendah (biasanya ke atas menuju permukaan tanah). Tapi, jika pembebanan berlangsung cepat dan cukup besar, atau diulangi berkali-kali (contoh getaran gempa bumi dan gelombang badai), air tidak mengalir keluar sesuai waktunya sebelum siklus pembebanan berikutnya terjadi, tekanan air dapat bertambah melebihi tekanan kontak antara butir-butir tanah yang menjaga mereka tetap saling bersentuhan satu sama lain. Kontak antara butir-butir ini merupakan media pemindahan berat bangunan dan lapisan tanah di atas dari permukaan tanah ke lapisan tanah atau batuan pada lapisan yang lebih dalam. Hilangnya struktur tanah menyebabkan tanah kehilangan semua kekuatannya (kemampuan untuk memindahkan tegangan geser) dan fenomena ini terlihat seperti mengalir menyerupai cairan (maka disebut 'pencairan').




Meskipun efek pencairan telah lama dipahami, fenomena ini lebih menarik perhatian para insinyur setelah gempa bumi Niigata tahun 1964 dan Alaska juga tahun 1964. Pencairan juga faktor utama kerusakan di Distrik Marina San Francisco setelah gempa bumi Loma Prieta tahun 1989 dan di Pelabuhan Kobe akibat gempa bumi besar Hanshin tahun 1995. Pencairan terakhir yang mengakibatkan kerusakan besar menimpa perumahan di timur pinggiran kota dan kota satelit Christchurch, Selandia Baru setelah gempa bumi Canterbury tahun 2010 dan lebih luas lagi setelah gempa Christchurch susulan pada awal dan pertengahan 2011.

Pada saat ini peraturan perundang-undangan pembangunan di banyak negara maju telah mensyaratkan pertimbangan efek dari pencairan tanah dalam desain bangunan dan infrastruktur baru, seperti jembatan, bendungan, dan struktur-struktur penahan.

Kerentanan Seismik

Adalah suatu kondisi tingkat kerawanan masyarakat dalam menghadapai bahaya gempa bumi yang ditentukan berdasarkan kondisi material batuan daerah setempat (Nakamura, 2000). Hubungan antara nilai kerentanan seismik dengan kerapatan material batuan dasar menunjukan bahwa semakin rendah kerapatan material batuan dasar cenderung memiliki nilai kerentanan seismik yang semakin tinggi.

Indeks Kerentanana Seismik




Untuk mengetahui indeks kerentanan seismik pada suatu wilayah, dengan membagi kuadrat amplifikasi dengan frekuensi dominan pada lokasi pengukuran.Perhitungan indeks kerentanan seismik berdasarkan persamaan Nakamura (2000) sebagai berikut :

Kg=Aofo

Dimana Kg adalah Indeks kerentanan seismik, Ao adalah nilai Amplifikasi dan fo adalah besaran Frekuensi dominan (Hz) lapisan sedimen di wilayah pengukuran.

Amplifikasi Tanah 

Adalah respon lapisan sedimen terhadap gelombang gempa bumi. Amplifikasi menggambarkan besarnya penguatan gelombang gempa bumi pada saat melalui medium tertentu. Menurut Nakamura (2000), nilai amplifikasi suatu wilayah dapat diketahui dari tinggi puncak spektrum kurva Horizontal to Vertical Spectrum Ratio (HVSR) dari hasil pengukuran mikrotremor di tempat tersebut.

Terdapat dua sebab terjadinya amplifikasi gelombang gempa pada lapisan sedimen yang dapat mengakibatkan kerusakan parah pada bangunan. Pertama, disebabkan karena adanya gelombang yang terjebak pada lapisan lunak (Sato et al., 2004). Gelombang yang terjebak pada lapisan lunak di atas batuan dasar akan mengakibatkan superposisi antar gelombang. Jika gelombang yang terjebak tersebut memiliki frekuensi yang relatif sama, maka terjadi proses resonansi gelombang gempa. Akibat proses resonansi, gelombang tersebut akan saling menguatkan yang akan mengamplifikasi gelombang gempa bumi.

Kedua, disebabkan karena adanya kesamaan frekuensi atau mendekati antara frekuensi natural geologi setempat dengan frekuensi natural bangunan (Gosar, 2007). Hal ini juga akan mengakibatkan resonansi antara bangunan dan tanah setempat. Akibat terjadinya resonansi mengakibatkan getaran tanah pada bangunan akan lebih kuat.

Contoh kasus gempa bumi yang memiliki efek amplifikasi yang sangat fenomenal adalah gempa bumi Meksiko (1985), gempa bumi San Fransisco (1989), gempa bumi Kobe (1995), gempa bumi Jogja (2006) dan lainnya.

Frekuensi Dominan

Frekuensi dominan berbanding terbalik dengan periode dominan. Periode dominan memiliki keterkaitan yang sangat dekat dengan kedalaman lapisan sedimen (Nakamura, 2008). Periode dominan yang tinggi menunjukan jenis lapisan sedimen dengan struktur yang lunak dan tebal. Sebaliknya periode dominan yang rendah menunjukan jenis lapisan sedimen yang lunak dan tipis. 

Nilai periode dominan di suatu wilayah juga berkonstribusi pada nilai amplifikasi di wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki nilai periode dominan tinggi umumnya adalah wilayah daratan yang disusun oleh endapan permukaan. Namun demikian, besarnya nilai perode dominan di wilayah endapan permukaan (alluvium) tidak mutlak sama. Hal ini menunujukan ketebalan alluvium di suatu wilayah tidak sama. Daerah yang memiliki periode dominan tinggi umumnya memiliki kerentanan untuk mengalami kerusakan. Hal ini dikarenakan periode dominan berbanding lurus dengan nilai amplifikasi. Periode dominan tinggi pada suatu wilayah menunjukan kecenderungan suatu wilayah untuk mengalami amplifikasi yang tinggi sehingga rentan mengalami kerusakan akibat gempa bumi.

Penelitian Terkait Dengan Indeks Kerentanan Seismik

Nakamura

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan indeks kerentanan seismik banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Nakamura (2008) melakukan pengukuran mikrotremor untuk mengkaji indeks kerentanan seismik di distrik Marina, San Francisco yang merupakan daerah kerusakan parah akibat gempa bumi Loma Prieta 1989.

Indeks kerentanan seismik di daerah pantai hingga kawasan perbukitan menunjukkan adanya perbedaan. Daerah pantai yang merupakan dataran aluvial dan reklamasi memiliki indeks kerentanan seismik tinggi, ternyata mengalami kerusakan yang parah pada saat terjadi gempa bumi. Indeks kerentanan seismik berubah mengecil begitu memasuki kawasan perbukitan yang tidak mengalami kerusakan saat terjadi gempa bumi.

Saita, J., Bautista, M.L.P. and Nakamura,

Saita et al. (2004) melakukan kajian indeks kerentanan seismik di distrik Intramuros, Manila, Filipina, tepatnya pada kawasan yang pernah mengalami kerusakan akibat gempa bumi Luzon tahun 1990. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah yang mengalami kerusakan parah ternyata terletak pada daerah dengan indeks kerentanan seismik tinggi berdasarkan analisis mikrotremor.

Huang dan Tseng 

Huang dan Tseng (2002) melakukan pengukuran mikrotremor pada 40 lokasi di daerah Yuan Lin Taiwan setelah gempa bumi Chi Chi tahun 1999. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daerah Yuan Lin yang mengalami kerusakan parah dan terjadi likuifaksi ternyata terletak pada zona dengan indeks kerentanan seismik tinggi berdasarkan analisis mikrotremor.

Nakamura, Y., Sato, T., and Nishinaga, M

Nakamura et al. (2000) melakukan pengukuran mikrotremor sebanyak 400 lokasi di daerah yang pernah mengalami kerusakan parah akibat gempa bumi Kobe 1995. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara indeks kerentanan seismik berdasarkan mikrotremor dengan rasio kerusakan. Di daerah pesisir yang memiliki indeks kerentanan tinggi mengalami rasio kerusakan tinggi, sedangkan di kawasan perbukitan yang memiliki indeks kerentanan seismik rendah mengalami rasio kerusakan rendah.

Gurler, E.D., Nakamura, Y., Saita, J., Sato, T.

Gurler et al. (2000) melakukan pengukuran mikrotremor pada 200 lokasi di Mexico City yang berulangkali dilanda kerusakan akibat gempa bumi tahun 1957, 1979 dan 1985. Jalur pengukuran mikrotremor memotong perbukitan, daerah transisi, dan rawa yang sudah direklamasi. Hasil penelitian ini dapat mengidentifikasi ”zona lemah” yang ditandai dengan indeks kerentanan seismik tinggi di zona bekas rawa. Indeks kerentanan seismik berubah semakin kecil setelah memasuki zona transisi dan zona perbukitan. Kawasan bekas rawa yang direklamasi ternyata merupakan zona indeks kerentanan tinggi dan selalu mengalami kerusakan parah pada saat terjadi gempa bumi kuat.
Blog, Updated at: 14:58:00

0 komentar:

Popular Posts