Penelusuran Awan Vulkanik Untuk Mitigasi Bencana Penerbangan

Abu vulkanik, sering disebut juga pasir vulkanik atau jatuhan piroklastik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan gunung api. Dengan perkembangan teknologi saat ini, abu vulkanik dapat dipantau dengan memanfaatkan citra satelit, yang biasa disebut dengan remote sensing atau pengindaraan jarak jauh.

Pengindaraan Jarak Jauh

Penginderaan jauh (atau disingkat inderaja) adalah pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat yang tidak secara fisik melakukan kontak dengan objek tersebut atau pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat dari jarak jauh, (misalnya dari pesawat, pesawat luar angkasa, satelit, kapal atau alat lain. Contoh dari penginderaan jauh antara lain satelit pengamatan bumi, satelit cuaca, memonitor janin dengan ultrasonik dan wahana luar angkasa yang memantau planet dari orbit. 

Inderaja berasal dari bahasa Inggris remote sensing, bahasa Perancis télédétection, bahasa Jerman fernerkundung, bahasa Portugis sensoriamento remota, bahasa Spanyol percepcion remote dan bahasa Rusia distangtionaya. Pada masa modern, istilah penginderaan jauh mengacu kepada teknik yang melibatkan instrumen di pesawat atau pesawat luar angkasa dan dibedakan dengan penginderaan lainnya seperti penginderaan medis atau fotogrametri. Walaupun semua hal yang berhubungan dengan astronomi sebenarnya adalah penerapan dari penginderaan jauh (faktanya merupakan penginderaan jauh yang intensif), istilah "penginderaan jauh" umumnya lebih kepada yang berhubungan dengan teresterial dan pengamatan cuaca.

Manfaat Pengindraan Jarak Jauh

Sampai dengan saat ini, indraja sangat bermanfaat hampir di segala bidang. antara lain seperti pada bidang kelautan  dengan menggunakan Seasat atau MOS yang berguna untuk mengamati sifat fisis air laut, pengamatan pasang surut air laut dan gelombang laut, pemetaan perubahan pantai, abrasi, sedimentasi, dan lain-lain.

Dalam bidang hidrologi dengan menggunakan citra Landsat dan/atau SPOT untuk memantau pemanfaatan daerah aliran sungai (DAS) dan konservasi sungai, pemetaan sungai dan studi sedimentasi sungai, pemantauan dan pemetaan pemanfaatan luas daerah dan intensitas banjir. Dalam bidang geologi berguna untuk menentukan struktur geologi, pemantauan daerah bencana (gempa, kebakaran) dan pemantauan debu vulkanik, pemantauan distribusi sumber daya alam, pemantauan pencemaran laut dan lapisan minyak di laut.

Selain itu Indraja juga bermanfaat di bidang pertahanan dan militer, bidang meteorologi dan klimatologi (NOAA), bidang oseanografi dan lainnya.

Penelusuran Awan Vulkanik Untuk Mitigasi Bencana Penerbangan

Penggunaan penginderaan jarak jauh dapat melacak pergerakan awan vulkanik saat terjadinya letusan gunung api. Awan vulkanik adalah debu yang menyerupai awan akibat dari letusan gunung api. Dengan pemanfaatan indraja dan pemetaan yang akurat akan sangat dibutuh bagi layanan penerbangan agar terhindar dari lokasi penyebaran awan vulkanik. Beberapa kasus yang terjadi, debu vulkanik dapat terhisap ke dalam mesin pesawat dan menjadi ancaman serius bagi keselamatan penerbangan.

Abu vulkanik di udara terdiri dari serpihan pecahan batuan dan mineral, diakui berbahaya bagi penerbangan yang dapat mengganggu sistem navigasi dan merusak performa mesin. Energi panas dari abu letusan magmatik dapat dengan cepat mencapai ketinggian jelajah pesawat. Hal ini disebabkan oleh letusan yang didorong oleh gas magmatik, awan yang dihasilkan mengandung antara lain uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), dan SO2 (belerang yang mudah menguap pada tekanan rendah dan suhu tinggi).  SO2 adalah gas yang paling mudah untuk diamati menggunakan teknik remote sensing.

Pada saat ini sinergi antara sensor NASA A-Train seperti OMI dan Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) pada satelit Aqua dapat memberikan informasi tentang ketinggian awan vulkanik. Produk data SO2 dari OMI dan AIRS diproduksi secara real-time untuk distribusikan ke Volcanic Ash Advisory Center (VAACs) melalui situs NOAA.

OMI adalah sebuah sensor yang dirancang untuk pemetaan unsur-unsur pada lapisan ozon termasuk SO2 dan beberapa jenis gas lain secara global,  dengan resolusi spasial sampai dengan 13 x 24 km (Levelt et al. 2006). Untuk pengukuran gas SO2 tinggi resolusi spektral (0,45 nm 306-380 nm pada UV2 channel), dan pada spektral penuh UV cakupan OMI menghasilkan dua tahap peningkatan sensitivitas relatif terhadap TOMS, yang memungkinkan mendeteksi kandungan debu vulkanik pada lapisan troposfer  dan letusan kecil (Krotkov et al 2006; Carn et al 2008). 

Data OMI memiliki resolusi spasial lebih tinggi dan noise yang lebih rendah. Standart deviasi dari data OMI adalah 0,2-0,5 Dobson Units (DU), sedangkan untuk data TOMS kisaran 5-10 DU. Sensitivitas tinggi OMI ini memastikan bahwa sebagian besar letusan yang menghasilkan SO2 dapat terdeteksi. Letusan malam hari tidak dapat terdeteksi secara reeltime oleh OMI, namun jejak SO2 umumnya dapat terterdeteksi pada hari berikutnya.

Sebagai contoh saat terjadi letusan gunung api  Manam (Papua Nugini [PNG]) pada letusan 27 Januari 2005. Awan vulkanik yang dihasilkan oleh letusan ini mencapai ketinggian 21-24 km, berdasarkan pantauan menggunakan TOMS dan OMI.


Letusan gunung api  Manam (Papua Nugini [PNG]) pada letusan 27 Januari 2005 berdasarkan pantauan menggunakan TOMS 

Letusan gunung api  Manam (Papua Nugini [PNG]) pada letusan 27 Januari 2005 berdasarkan pantauan menggunakan OMI.


Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penelusuran pergerakan debu vulkanik dan kandungan-kandungan gas yang dihasilkan oleh letusan gunung api dapat dengan jelas digambarkan dengan menggunakan data OMI bahkan kerapatan ketinggian, kecepatan dan jarak tempuh dapat diukur, dengan demikian, penggunaan data OMI dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan jalur penerbangan alternatif untuk menghindari bahaya yang diakibatkan oleh letusan gunung api.






Blog, Updated at: 12:30:00

0 komentar:

Popular Posts